Jejak-jejak langkah itu begitu indah, didalamnya kutemukan
keping-keping kenangan berserakan, bertebaran seperti tak bertuan, coba
pilahlah adakah kepingan yang mengisahkan tentang kita, tentang kita
bersama, hanya kisah kita berdua.
Dulu, ketika aku disana,
menatapmu dari sekatnya, memperhatikan kamu dari dekapannya dan aku pun
mencintaimu dari antara hatinya,
Hingga,,,
Hingga kini,,
Aku tak tau berpijak dimana??
Pernah, kusapa matahari dan kutanyakan kepadanya, dia hanya membisu, berusaha bicara dengan isyarat cahaya,,
Sayang,,
aku tak memahami,, terus kutunggu ,, namun sepertinya ia muak dengan
pertanyaan-pertanyaan sama yang aku ajukan, ia pun berangsur pergi tanpa
jawaban dan tak seberkas cahaya pun yang ia tinggalkan kepadaku untukku
terjemahkan.
Lalu kupanggil hujan dan
coba bertanya padanya, syukur ia tak membisu, namun tetap saja aku tak
mengerti dengan gemericik yang ia hadirkan bahkan dengan dengan deru
deram angin dan petir yang membantu menjawabnya
Aku tetap saja, tetap saja tak mengerti.
Hujan pun Satu demi satu berpamitan padaku, angin dan petir tak lama menyusulnya.
Kini, aku hanya sendiri,
Bertemani sepi,
Bertemani air menggenang yang hujan sisakan
*saat
semua tenagaku sudah kukerahkan, saat usahaku benar-benar dititik
nadir, aku mulai meniti titik terang, aku mulai menemukan jawabannya,
ternyata jawabannya ada didalam diriku sendiri, yaitu kenyataan,
Iya, kenyataan yang harus kujalani, seberapa sulit kenyataan itu..
Tangerang 19 januari 2011
*diinterpretasikan dari kutipan Andrea Hirata dalam novel “Edensor”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar